Minggu, 19 Desember 2010

proses berubah

PERUBAHAN DALAM KEPERAWATAN

Pengertian Dasar: Beranjak dari status quo
Pengertian Praktis:
1. Tumbuh/ pertumbuhan
2. Kembang/ perkembangan/ berkembang
3. Gerak/ pergerakan/ bergerak
4. Transformasi/ peralihan/ beralih
5. Pembaharuan/ inovasi/ modernisasi
6. Hidup
Berubah (Change)
“An act of process that makes something or someone different in some way”
“The process og moving from one system to another”
“Transition to a different end”
Sifat Kejadian
1. Berubah dan proses berubah menyetu dengan hidup dan kehidupan manusia
2. Berubah dan proses berubah menyatu dengan alam semesta
3. Berubah dan proses berubah merupakan proses yang berkelanjutan
Berubah dan Manusia/ Masyarakat
1. Lahir-tumbuh-kembang-dewasa-pembiakan
2. Lahir- tumbuh-kembang-mati
3. Senang-susah; sehat-sakit
4. Budaya-tata nilai; tradisional-modern
5. Pergolakan/ pergerakan/ mobilitas masyarakat
6. Berpikir/ berkehendak/ berupaya/ belajar
Faktor Yang Mendukung Perubahan
1. Perubahan dipandang sebagai sesuatu yang positif oleh target berubah
2. Perubahan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang diyakini
3. Perubahan sederhana dan konkrit
4. Target berubah dilibatkan sejak fase awal
5. Perubahan dilakukan pada skala kecil dulu  evaluasi dan antisipasi permasalahan pada skala besar
6. Pemimpin dan tokoh kelompok dilibatkan
7. Komunikasi terbuka antara target berubah & inovator (change agent)
8. Evaluasi sebagai bagian dari proses berubah
Respon Terhadap Perubahan
1. Menerima dan mendukung
2. Tidak menerima – tidak mendukung
3. Menolak:
a. takut akan sesuatu yang tidak pasti (loss of predictability)
b. takut akan kehilangan pengaruh
c. takut akan kehilangan ketrampilan & proficiency
d. takut kehilangan reward, benefit
e. takut akan kehilangan respect, dukungan, kasih sayang
f. takut gagal
PERLU KESEIMBANGAN ANTARA PERUBAHAN & STABILITAS
PERUBAHAN SECARA RADIKAL SERING MENEMUI HAMBATAN
Manusia dan Proses Berubah
Pada hakekatnya manusia mempunyai kebutuhan untuk:
1. merubah keseimbangan personal, sosial, organisasional
2. mengadakan penyelidikan dan eksplorasi
3. mengadakan perubahan/ mengadakan penyempurnaan
4. menerapkan ide-ide baru dan konsep-konsep baru
5. mengusahakan untuk mencapai hal-hal yang kelihatannya belum dicapai
berubah merupakan bagian dari hidup dan kehidupan manusia
berubah menyatu dengan hidup dan kehidupan manusia
berubah merupakan cara hidup manusia
change–> a way of life
the time are changed, and we are changed within them
kita adalah bagian dari perubahan/ berubah itu sendiri
Macam Proses Perubahan
A. Perubahan ditinjau dari sifat proses:
1. Perubahan Spontan
- sebagai respon terhadap kejadian alamiah yang terkontrol
- perubahan yang akan terjadi tidak dapat diramalkan sebelumnya
2. Perubahan pada perkembangan
perkembangan/ kemajuan yang terjadi pada individu, kelompok dan organisasi dalam pertumbuhan-perkembangan
3. Perubahan yang direncanakan
Sebagai upaya yang bertujuan untuk mencapai tingkat yang lebih baik, dapat dikontrol
B. Perubahan ditinjau dari sifat keterlibatan
1. Perubahan partisipatif
- Melalui penyediaan informasi yang cukup
- Adanya sikap positif terhadap inovasi
- Timbulnya komitmen
2. Perubahan paksaan (coerced change)
- Melalui perubahan total dari organisasi
- Memerlukan kekuatan personal (personal power)
C. Perubahan ditinjau dari sifat pengelolaan
1. Perubahan berencana
-  menyesuaikan kegiatan dengan tujuan
-  Dengan titik mula yang jelas dan dipersipkan, sesuai dengan tujuan yang akan dicapai
2. Perubahan acak/ kacau
- Tanpa usaha mempersiapkan titik awal perubahan
- Tidak ada usaha mempersipakan kegiatan sesuai dengan tujuan
Asal dari Perubahan
Tiga klasifikasi utama asal perubahan/ berubah, satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi, menerima dampak/ efek perubahan itu sendiri
1. Perubahan struktural-institusional
- Perubahan struktur pendidikan
- Perubahan struktur organisasi
- Perubahan kedudukan institusi
2. Perubahan teknologikal
- Bioteknologi
- Penemuan-penemuan teknologi jet, komputer, televisi
3. Perubahan perilaku sosial
- Perubahan pendangan/ keyakinan tentang hidup dan kehidupan
Tipe Berubah Yang Terdapat pada Proses Adaptasi/ Adopsi (Havelock)
Tipe atau bentuk berubah yang diperlukan sehingga dapat terjadi adaptasi atau adopsi, pada perubahan tingkah laku
1. Substitusi (substitution)
Hal yang diintroduksikan merupakan substitusi/ pengganti dari hal yang sudah ada
2. Perubahan (alteration)
Hal yang diintroduksikan merubah/ mengadakan perubahan dari hal yang sudah ada
3. Penambahan (addition)
Hal yang diintoduksikan menambah/ merupakan tambahan hal yang sudah ada
4. Membentuk/ membangun kembali (restructuring)
Membentuk/ membangun kembali sesuatu yang lain, dengan bahan/ sumber yang ada
5. Menghilangkan pola perilaku lama (eliminating of old behavioural pattern)
Menghilangkan/ menghapus pola perilaku lama
6. Memperkuat pola perilaku lama (reinforcing of old behavioural pattern)
Memperkuat keberadaan/ dianutnya pola perilaku lama
Bentuk Berubah Ditinjau dari Proses Terjadinya Perubahan (Bennis W)
Bentuk/ tipe berubah ditinjau dari bentuk proses yang terjadi pada proses perubahan
1. Perubahan berencana (planned change)
- Apa tujuan berubah
- Apa yang harus dirubah
- Bagaimana harus berubah
- direncanakan bersama secara kolaboratif antara klien dan change agent
2. Perubahan secara indoktrinasi (indoctrination change)
Menetapkan tujuan secara cermat bersama, akan tetapi dengan kekuatan sepihak/ unilateral (unilateral power)
3. Perubahan secara paksaan (coercive change)
Menetapkan tujuan sepihak dengan kekuatan unilateral dan kontrol
4. Perubahan secara teknokratik (tchnocratic change)
Dengan urunan kekuatan (shared power) menetapkan tujuan unilateral, satu pihak menetapkan tujuan dan pihak lain membantu mencapai tujuan, tanpa menanyakan tentang nilai tujuan
Berdasarkan pengumpulan dan analisa data
5. Perubahan secara interaksional (interactional change)
Urunan kekuatan, dalam keadaan dimana tujuan tidak terlalu dipikirkan
6. Perubahan secara sosialisasi (socialization change)
Kekuatan unilateral, akan tetapi tujuan dicapai secara bersama/ kolaboratif
7. Perubahan secara menirukan (emultif change)
Kekuatan unilateral, tujuan tidak dirumuskan dengan benar
8. Perubahan secara alami (natural change)
Urunan kekuatan, akan tetapi tanpa rumusan tujuan  perubahan yang tidak direncanakan, aksidental
Strategi Berubah (Chin & Benne)
bagaimana mengadakan perubahan
rangkaian kegiatan dalam mengadakan perubahan
1. Strategi rasional-empirik (empirical-rational strategies)
- Asumsi dasar: manusia adalah rasional
- Riset dasar dan desiminasi ilmu pengetahuan melalui pendidikan umum,  diyakini bahwa perubahan itu diperlukan
- Pemilihan personel dan penggantian dari mereka yang tidak sesuai dengan posisi yang diduduki; diperlukan orang yang tepat untuk jabatan/ posisi yang tepat (the right person in the right position)
- System analysts sebagai staf dan konsultan, terutama yang berhubungan dengan kesukaran/ masalah sistem
2. Strategi reedukatif normatif (normative-reeducative strategies), didasarkan pada:
- Pola kegiatan dan perbuatan didukung oleh norma sosiokultural, dan oleh komitmen individual terhadap norma-norma tersebut
- Norma sosiokultural didukung oleh sikap dan sistem nilai individual
- Pendekatan normatif-reedukatif untuk mengadakan perubahan, melalui intervensi langsung dari “change agent”, intervensi yang didasarkan pada penerapan teori berubah yang mantap, ke dalam kehidupan sistem klien, baik individu, kelompok, organisasi atau komuniti
- Beberapa elemen yang lazimnya terdapat pada pendekatan ini:
- Pelibatan klien dalam proses penyusunan proses berubah; cara klien melihat dirinya sendiri dan melihat masalahnya harus diperhatikan dan dipadukan dengan pandangan change agent
- Melihat kemungkinan bahwa masalah terletak pada sikap, nilai norma, dan hubungan internal/ eksternal dari sistem klien, dan yang mungkin memerlukan perubahan arau reedukasi, sebagai kondisi untuk mengadakan penyelesaian masalah
- Change agent harus mempelajari cara intervensi timbal balik dan kolaboratif
- Unsur-unsur yang tidak disadari memberi saham/ mempunyai pengaruh pada penyelesaian masalah, harus dibawa ke permukaan
- Metode dan konsep ilmu perilaku merupakan sumber yang digunakan change agent dan klien secara selektif, relevan dan benar
Pendekatan ini brtolak pada pandangan bahwa people technology sama pentingnya dengan thing technology dalam mengadakan perubahan yang baik dalam persoalan manusia
3. Strategi paksaan – kekuatan (power coercive approaches)
- Didasarkan pada penggunaan kekuatan/ kekuasaan pada umumnya didasarkan pada sanksi ekonomi dan politik
- Bentuk strategi coercive lainnya adalah dengan menggunakan moral power dan political power:
- Menggunakan institusi politik
- Melalui rekomposisi dan manipulasi kelompok penguasa (power elite)
- Mengadakan perbaikan strategi (bila diperlukan)
- Mengimplementasikan proyek perubhan (change project)
- Mengadakan observasi dan mengendalikan/ mengatasi hambatan
- Mengadakan evaluasi hasil perubahan/ berubah
- Memformulasikan rekomendasi untuk kegiatan masa depan atau modifikasi
Objektif Perilaku Siswa :
Di akhir pembelajaran ini mahasiswa diharapkan dapat :
- Menyebutkan pengertian proses berubah
- Menyebutkan macam-macam perubahan
- Menjelaskan ciri-ciri peruba

Kamis, 16 Desember 2010

ujian 2 ikd

ABORSI
Definisi dari aborsi sendiri adalah adanya perdarahan dari dalam rahim perempuan hamil di mana karena sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur & keluar dari dalam rahim bersama dengan darah, atau berakhirnya suatu kehamilan sebelum anak berusia 22 minggu atau belum dapat hidup di dunia luar. Biasanya disertai dengan rasa sakit di perut bawah seperti diremas-remas & perih. Aborsi dibagi lagi menjadi aborsi spontan yang terjadi akibat keadaan kondisi fisik yang turun, ketidakseimbangan hormon didalam tubuh, kecelakaan, maupun sebab lainnya.
Aborsi buatan, yang dibagi menjadi 2..aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal).
aborsi provokatus terapetikus adalah pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat-syarat medis & cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan nyawa/mengobati ibu.
Aborsi provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak kompeten, serta tidak memenuhi syarat & cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan.
Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. Dari segi medis adapun tahapan-tahapan aborsi spontan adalah sebagai berikut:
Aborsi iminens, yaitu adanya tanda-tanda perdarahan yang mengancam adanya aborsi, di mana janin sendiri belum terlepas dari rahim. Keadaan seperti masih dapat diselamatkan dengan pemberian obat hormonal serta istirahat total.
Aborsi insipiens, yaitu aborsi yang sedang berlangsung, di mana terjadi perdarahan yang banyak disertai janin yang terlepas dari rahim. Jenis seperti ini biasanya janin sudah tidak dapat lagi diselamatkan.
Aborsi inkomplitus, yaitu sudah terjadi pembukaan rahim, janin sudah terlepas & keluar dari dalam rahim namun masih ada sisa plasenta yang menempel dalam rahim, & menimbulkan perdahan yang banyak sebelum akhirnya plasenta benar-benar keluar dari rahim. Pengobatannya harus dilakukan kuretase untuk mengeluarkan sisa plasenta ini.
Aborsi komplitus, yaitu aborsi di mana janin & plasenta sudah keluar secara lengkap dari dalam rahim, walaupun masih ada sisa-sisa perdarahan yang kadang masih memerlukan tindakan kuretase untuk membersihkannya.

Di Indonesia adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan soal aborsi & penyebabnya dapat dilihat pada:
KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349:

Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 & 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga & dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat dicabut.
5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta mempertahankan hidupnya.
UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.
UU Kesehatan, pasal 15 ayat 1&2:
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan untuk itu & dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang, karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan & norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.
(2) Butir a: Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu ibu hamil & janinnya terancam bahaya maut.
Butir b: Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian & kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kebidanan & penyakit kandungan.
Butir c: Hak utama untuk memberikan persetujuan (informed consent) ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d: Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga & peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut & telah ditunjuk pemerintah.
Namun sayangnya didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah kehamilan akibat perkosaan, akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial ataupun kehamilan yang diketahui bahwa janin yang dikandung tersebut mempunyai cacat bawaan yang berat.
(3) Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.
UU Penghapusan KDRT, pasal 10 mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu & mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan:
1. Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami, isteri, anak.
2. Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga
3. Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan ‘pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis’ pada pasal 10, namun apabila dikaitkan dengan kekerasan seksual yang berefek pada kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban diasumsikan dapat meminta hak atas pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya, karena secara medis, korban akan mengalami stres ataupun depresi, & bukan tidak mungkin akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan.
Dari uraian penyebab inilah mungkin didapatkan gambaran mengenai penggolongan aborsi yang akan dilakukan. Pada butir ke-5 sudah jelas dapat digolongkan pada aborsi terapetikus, sesuai dengan UU Kesehatan pasal 15 tentang tindakan medis tertentu yang harus diambil terhadap ibu hamil demi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Butir ke-2 & 3, mungkin para ahli kesehatan & ahli hukum dapat memahami alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu, dimana pada butir ke 2, apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu sendiri. Namun keadaan ini bertetangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan, & pasal 54 mengenai hak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan & bantuan khusus atas biaya negara bagi setiap anak yang cacat fisik & mental. Pada butir ke 3, kemungkinan besar bayi tidak akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin akan diterlantarkan ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4 tentang perlindungan anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang & berpartisipasi secara wajar sesuai dgn harkat & martabat kemanusiaan. Sedangkan bagi ibu yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan keputusan yang kurang adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri adalah korban suatu kejahatan, & pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang berat. Sedangkan pada butir 1, 4, & 6, jelas terlihat adalah kehamilan diakibatkan oleh terjadinya hubungan seks bebas, yang apabila dilakukan tindakan aborsi, dapat digolongkan pada aborsi provokatus kriminalis bertentangan dengan KUHP Pasal 346-349 & UU Kesehatan pasal 4 tentang perlindungan anak.
Dari penjelasan tersebut, didapatkan gambaran mengenai aborsi legal & ilegal. aborsi provokatus/buatan legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, yaitu memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berdasarkan indikasi medis yang kuat yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami ataupun keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Setiap dokter pada waktu baru lulus bersumpah untuk menghormati hidup mulai sejak saat pembuahan, karena itu hendaknya para dokter agar selalu menjaga sumpah jabatan & kode etik profesi dalam melakukan pekerjaannya. Namun pada kehidupan sehari-hari, banyak faktor-faktor yang berperan, seperti rasa kasihan pada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, faktor kemudahan mendapatkan uang dari praktik aborsi yang memakan biaya tidak sedikit ataupun faktor-faktor lainnya.
Sejak abad 5 SM, Hipokrates sudah bersumpah antara lain bahwa ia “tidak akan memberikan obat kepada seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya”. Sumpah itu kemudian kemudian menjadi dasar bagi sumpah dokter sampai sekarang. Pernyataan Geneva yang dirumuskan pada tahun 1984 & memuat sumpah dokter antara lain menyatakan bahwa para dokter akan “menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”. Pernyataan itu juga termuat dalam sumpah dokter Indonesia yang dirumuskan dalam PP no.26/1960. Sikap para dokter se-dunia terhadap pengguguran terutama dirumuskan dalam “Pernyataan Oslo” pada tahun 1970, yang terutama menyoroti hal pengguguran berdasarkan indikasi medis. Rumusan itu berbunyi sebagai berikut:
1. Prinsip moral dasar yang menjiwai seorang dokter ialah rasa hormat terhadap kehidupan manusia sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pasal Pernyataan Geneva: “Saya akan menjujung tinggi rasa hormat terhadap hidup insani sejak saat pembuahan”.
2. Keadaan yang menimbulkan pertentangan antara kepentingan vital seorang ibu & kepentingan vital anaknya yang belum dilahirkan ini menciptakan suatu dilema & menimbulkan pertanyaan: “Apakah kehamilan ini harusnya diakhiri dengan sengaja atau tidak?”
3. Perbedaan jawaban atas keadaan ini dikarenakan adanya perbedaan sikap terhadap hidup bayi yang belum dilahirkan. Perbedaan sikap ini adalah soal keyakinan pribadi & hati nurani yang harus dihormati.
4. Bukanlah tugas profesi kedokteran untuk menentukan sikap & peraturan negara atau masyarakat manapun dalam hal ini, tetapi justru adalah kewajiban semua pihak mengusahakan perlindungan bagi pasien-pasien & melindungi hak dokter di tengah masyarakat.




5. Oleh sebab itu di mana hukum memperbolehkan pelaksanaan pengguguran terapetis, atau pembuatan UU ke arah itu sedang dipikirkan, & hal ini tidak bertentangan dengan kebijaksanaan dari ikatan dokter nasional, serta dimana dewan pembuat undang-undang itu ingin atau mau mendengarkan petunjuk dari profesi medis, maka prinsip-prinsip berikut ini diakui:
a. Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu tindakan terapetis.
b. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.
c. Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten dalam instalasi-instalasi yang disetujui oleh suatu otoritas yang sah.
d. Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati nuraninya tidak mengizinkan dirinya menganjurkan atau melakukan pengguguran, ia berhak mengundurkan diri & menyerahkan kelangsungan pengurusan medis kepada koleganya yang kompeten.
6. Meskipun pernyataan ini didukung oleh “General Assembly of The World Medical Association”, namun tidak perlu dipandang sebagai mengikat ikatan-ikatan yang menjadi anggota, kecuali kalau hal itu diterima oleh ikatan itu.
Karenanya dihimbau bagi para dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya agar:
1. Tindakan aborsi hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik.
2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh minimal dua orang dokter yang kompeten & berwenang.
3. Prosedur tersebut hendaknya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di instansi kesehatan tertententu yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika dokter tersebut merasa bahwa hati nuraninya tidak sanggup melakukan tindakan pengguguran, maka hendaknya ia mengundurkan diri serta menyerahkan pelaksanaan tindakan medis ini pada teman sejawat lainnya yang juga kompeten .
5. Selain memahami & menghayati sumpah profesi & kode etik, para dokter & tenaga kesehatan juga perlu meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya.
Pada beberapa negara seperti Singapura, Cina, & Tunisia, aborsi dilegalkan oleh pemerintahnya masing-masing dengan tujuan untuk membatasi pertumbuhan guna meningkatkan kesejahteraan. Negara Swedia, Inggris, & Italia atas dasar sosiomedik, sedangkan di Jepang atas dasar sosial.
Untuk masyarakat agar dihimbau untuk:
1. Sedapat mungkin menghindari hubungan suami isteri pada pasangan yang tidak/belum menikah.
2. Bagi para suami isteri yang tidak merencanakan untuk menambah jumlah anak, agar mengikuti program KB.
3. Bagi para pekerja seks komersial agar selalu menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan intim dengan pelanggannya.
4. Meningkatkan pengetahuan agama agar selalu terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agamanya.
5. Menuntut pada pemerintah agar memberikan tindakan hukuman yang seberat-beratnya bagi para pemerkosa ataupun pelaku tindakan pelecehan/kekerasan seksual lainnya, agar para kriminal maupun calon pelaku kriminal ini berpikir panjang untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut.
Abortus Terapeutik
Teknik aborsi bedah meliputi ekstraksi menstrual (aspirasi kavum endometrium dengan kateter tipis dan spuit pada usia kehamilan 5-8 minggu), kuretase vakum (dilatasi scrviks dan penigsapan uterus pada usia <14 minggu), D&C (dilatasi scrviks lebih lanjut dan kuretase dengan kuret logam pada kehamilan <14 minggu), arau dilatasi dan evakuasi (I) & E; dilatasi serviks lebar yang diikuti dengan kuretase vakum setelah kehamilan 16 minggu). Tenda laminaria, tenda Lamicel, dan pcsarium gemeprost adalah produk-produk yang diinsersi ke dalam serviks untuk memulai dilatasi dan mengurangi trauma pada serviks.
Konseling Aborsi
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan konseling aborsi. Konseling harus dimulai saat kontak pertama. Berikan informasi dan rujukan yang diperlukan. Perawatan yang diberikan bukan paksaan. Bila memutuskan untuk aborsi, segala upaya harus dilakukan untuk menentukan usia kehamilan.
Adapun para penyebab dari kejadian aborsi ini antara lain adalah:
1. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal.
2. Faktor penyakit herediter, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik.
3. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah tangganya.
4. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus membangun suatu keluarga yang prematur.
5. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu.
6. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial, ‘perempuan simpanan’, pasangan yang belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah kiranya ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. aborsi secara umum dibagi atas aborsi spontan & aborsi provokatus (buatan). Aborsi provokatus (buatan) secara aspek hukum dapat golongkan menjadi dua, yaitu aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal).
2. Dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu KUHP & UU Kesehatan.
3. Dalam KUHP diatur ancaman hukuman melakukan aborsi (pengguguran kandungan, tidak disebutkan soal jenis aborsinya), sedangkan aborsi buatan legal (terapetikus atau medisinalis, & tidak disebutkan soal ancaman hukuman), diatur dalam UU Kesehatan.
4. Belum ada peraturan perundangan yang mengatur soal hak-hak otonomi korban kehamilan akibat perkosaan, kekerasan seksual dalam rumah tangga ataupun kehamilan dengan bayi yang cacat kelainan herediter (bawaan).
5. Penghayatan & pengamalan sumpah profesi & kode etik masing-masing tenaga kesehatan, secara tidak langsung dapat mengurangi terjadinya aborsi buatan ilegal, lebih lagi jika diikuti dengan pendalaman & pemahaman ajaran agama masing-masing.
 
jawaban post test  2
1.E 2.E3.D 4.E 5.E 6.A 7.E 8.D 9.A 10.D 11.B 12.A 13.A 14.E 15.B 16.B 17.C 18.D 19.D 20.E 21.B 22.E 23.E 24.E 25.C 26.E 27.C 28.E 29.E 30.E

euthanasia dalam keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada kesejahtraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-hariya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian.

Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982).

Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekwensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dari tindakan keperawatan harus mampu dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan dan setiap penganbilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)

Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Gallo, 1997). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada bioetik sebagaimana tercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi keperawatan.

Eutanasia merupakan

Dari uraian diatas kelompok merasa tertarik untuk menguraikan konsep penanganan masalah bioetik disertai dngan studi kasus.

B. Tujuan
Makalah ini memberikan gambaran tentang dilema etik dan cara penganannya menurut konsep llmu.

C. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN TEORITIS
BAB III TINJAUAN KASUS
BAB IV PEMBAHASAN












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi ( catalano, 1991).


Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)

Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya dengan kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI atau IBI.

Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal

Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional

Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan profesional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat atau bidan, dan berlanjut pada diskusi formal maupun informal dengan sejawat atau teman. Perilaku yang etis mencapai puncaknya bila perawat atau bidan mencoba dan mencontoh perilaku pengambilan keputusan yang etis untuk membantu memecahkan masalah etika. Dalam hal ini, perawat atau bidan seringkali menggunakan dua pendekatan: yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan pendekatan berdasarkan asuhan keperawatan /kebidanan

Pendekatan berdasarkan prinsip

Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika untuk menawarkan bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress (1994) menyatakan empat pendekatan prinsip dalam etika biomedik antara lain; (1) Sebaiknya mengarah langsung untuk bertindak sebagai penghargaan terhadap kapasitas otonomi setiap orang: (2) Menghindarkan berbuat suatu kesalahan; (3) Bersedia dengan murah hati memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan segala konsekuensinya; (4) Keadilan menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi

Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab konflik dalam bertindak. Contoh; seorang ibu yang memerlukan biaya untuk pengobatan progresif bagi bayinya yang lahir tanpa otak dan secara medis dinyatakan tidak akan pernah menikmati kehidupan bahagia yang paling sederhana sekalipun. Di sini terlihat adanya kebutuhan untuk tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan pengobatan bayinya, tetapi dilain pihak masyarakat berpendapat akan lebih adil bila pengobatan diberikan kepada bayi yang masih memungkinkan mempunyai harapan hidup yang besar. Hal ini tentu sangat mengecewakan karena tidak ada satu metoda pun yang mudah dan aman untuk menetapkan prinsip-prinsip mana yang lebih penting, bila terjadi konflik diantara kedua prinsip yang berlawanan. Umumnya, pendekatan berdasarkan prinsip dalam bioetik, hasilnya terkadang lebih membingungkan. Hal ini dapat mengurangi perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu yang penting dalam etika.


Terutama kemajuan di bidang biologi dan kedokteran, telah menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi (cakalano, 1991). Kemajuan teknologi kesehatan saat ini telah meningkatkan kemampuan bidang kesehatan dalam mengatasi kesehatan dan memperpanjang usia. Jumlah golongan usia lanjut yang semakin banyak, keterbatasan tenaga perawat, biaya perawatan yang semakin mahal, dan keterbatasan sarana kesehatan, telah menimbulkan etika keperawatan bagi individu perawat atau persatuan perawat ( Mc. Croskey, 1990 )

A. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan dilema etik
1. Etik
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia, 1971 )
2. Etik Keperawatan
Etik keperawatan adalah norma-norma yang di anut oleh perawat dalam bertingkah laku dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan keperawatan yang bersifat professional. Prilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari pasien, perawat dan interaksi sosial dalam lingkungan.
3. Kode Etik Keperawatan
Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip imum yang telah diterima oleh suatu profesi. Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik yang berhubungan dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim kesehatan lain, yang berfungsi untuk
• Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antara perawat, pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat dan profesi keperawatan.
• Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
• Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek keperawatan.
• Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan ( Kozier & Erb, 1989 )
4. Dilema Etik
Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benara atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1985 ) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang perawat tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.

B. Prinsip-Prinsip Moral Dalam Praktek Keperawatan
Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu. ( John Stone, 1989 )
1. Autonomi
Autonomi berarti kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri, berarti menghargai manusia sehingga memperlakukan mereka sebagai seseorang yang mempunyai harga diri dan martabat serta mampu menentukan sesuatu bagi dirinya.
2. Benefesience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan pasien atau tidak menimbulkan bahaya bagi pasien.
3. Justice
Merupakan prinsip moral untuk bertindak adil bagi semua individu, setiap individu mendapat pperlakuan dan tindakan yang sama. Tindakan yang sama tidak selalu identik tetapi dalam hal ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan hidup seseorang
4. Veracity
Merupakan prinsip moral dimana kita mempunyai suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau tidak membohongi orang lain / pasien. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun suatu hubungan denganorang lain. Kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya didasarkan atau penghargaan terhadap otonomi seseorang dan mereka berhak untuk diberi tahu tentang hal yang sebenarnya.
5. Avoiding Killing
Merupakan prinsip yang menekankan kewajiban perawat untuk menghargai kehidupan. Bila perawat berkewajiban melakukan hal-hal yang menguntungkan (Benefisience ) haruskah perawat membantu pasien mengatasi penderitaannya ( misalnya akibat kanker ) dengan mempercepat kematian ? Kewajiban perawat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan yang mempunyai konsekuensi untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan dengan berbagai cara.
6. Fedelity
Merupakan prinsip moral yang menjelaskan kewajiban perawat untuk tetap setia pada komitmennya, yaitu kewajiban mempertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Kewajiban ini meliputi meenepati janji, menyimpan rahasia dan “caring “

C. Kerangka Proses Pemecahan Masalah Dilema Etik
Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara lain :
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 1989 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi :
• Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
• Apa tindakan yang diusulkan
• Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
• Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan

3. Model Murphy dan Murphy
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum untuk perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.

4. Model Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu.
e. Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan.
f. Memecahkan dilema
g. Melaksanakan keputusan

5. Model Levine – Ariff dan Gron
a. Mendefinisikan dilema
b. Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan.
c. Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayana
• Pasien dan keluarga
• Faktor-faktor eksternal
d. Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu
e. Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi
f. Identifikasi pengambil keputusan
g. Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik
h. Tentukan alternatif-alternatif
i. Menindaklanjuti

6. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan

7. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981) mengusulkan 10 langkah model keputusan bioetis
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi Issue etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

D. Strategi Penyelesaian Masalah Etik
Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)
Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics Rounds ) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat permasalahan etis.






Eutanasia.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan

Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
• Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
• Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
• Eutanasia hewan
• Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Eutanasia di berbagai Negara
1. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasi
2. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 , yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum

3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
4. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga
5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP
Eutanasia menuruit pandangan agama
1. Agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga
Ketua Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang haram tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia itu kan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut fatwa kita tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin di Jakarta, Jumat (22/10).
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma'ruf Amin mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.

Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.

Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan "euthanasia", dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. "Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT," ujarnya menambahkan.

Ketua komisi fatwa MUI itu mengatakan, MUI akan menjelaskan dan mengeluarkan fatwa pelarangan euthanasia tersebut, apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau institusi lainnya menanyakan kepada MUI. Dia menjelaskan, kasus permohonan euthanasia memang belum pernah terjadi di Indonesia, tetapi MUI telah menetapkan fatwa pelarangan tersebut setelah melakukan diskusi dan pembahasan tentang permasalahan euthanasia yang terjadi di luar negeri.
2. Kristen
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut











BAB III
TINJAUAN KASUS


Illustrasi kasus
Seorang wanita berusia 40 tahun menderita tumor dia menolak untuk di obati di karenakan biaya yang kurang mencukupi, namun dia pernah mendatangi puskesmas terdekat untuk berobat dan konsultasi untuk menyelamatkan hidup nya, maka di perlukan suatu operasi dengan segera. Tetapi dia tetap saja menolak untuk dioperasi dengan alas an tidak adanya biaya, tidak inggin orang lain (anak-anak nya) susah akan keberadaannya seperti itu dan membiarkan tumor itu menjadi besar hingga ia meninggal.
Anak-anak nya pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menghargai keputusan ibunya walaupun dengan berat hati. Begitu pula suaminya dia bekerja hanya sebagai kuli yang hanya cukup untuk keperluan sehari-hari saja.






















BAB IV
PEMBAHASAN



A. Penyelesaian Dilema Etik
Kerangka pemecahan dilema etik, menurut kozier and Erb (1989)
1. Mengembangkan Data Dasar
a. Orang-orang yang terlibat dalam dilema etik tersebut : klien, suami, anak, perawat, rohaniawan
b. Tindakan yang diusulkan
Sebagai klien dia mempunyai otonomi untuk membiarkan penyakitnya menggerogoti tubuhnya walaupun sebenarnya bukan hal itu yang di inginkannya. Dalam hal ini, perawat mempunyai peran dalam pemberi asuhan keperawatan, peran advocad (pendidik) serta sebagai konselor yaitu membela dan melindungi ibu tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian.
c. Maksud dari tindakan
Dengan memberikan pendidikan, konselor, advokasi di harapkan klien mau menjalani operasi serta dapat membuat keputusan yang tepat terhadap masalah yang saat ini dihadapi.
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan
1) Operasi dilaksanakan
• Biaya
Biaya yang dibutuhkan klien cukup besar untuk dilaksanakannya operasi
• Psikososial
Pasien merasa bersyukur diberi umur yang panjang (bila operasi itu lancar dan baik) namun klien juga dihadapkan pada kecemasan akan kelanjutan hidupnya bila ternyata operasi itu gagal serta biaya-biaya yang akan di keluarkan.
• Fisik
Klien mempunyai bentuk tubuh yang normal tidak terdapat pembesaran dalam tubuhnya (perut) dan bila dibiarkan begitu saja cepat atau lambat akan terjadilah kematian
2) Bila operasi tidak dilaksanakan
• Biaya
Tidak mengeluarkan biaya apa-apa
• Psikososial
Klien dihadapkan pada suatu ancaman kematian terjadi kecemasan dan rasa sedih dalam hatinya
• Fisik
Timbulnya pembesaran di daerah abdomen


2. Identifikasi Komplik Akibat Situasi Tersebut
a. Untuk memutuskan apakah operasi dilakukan pada wanita tersebut, perawat dihadapkan pada konflik tidak menghormati otonomi klien
b. Apabila tindakan operasi tidak di lakukan perawat dihadapkan pada konflik :
1. tidak melaksanakan sumpah profesi
2. tidak melaksanakan kode etik profesi dan prinsip-prinsip moral : advokasi,benefesience, justice, avoiding, killing.
3. tidak melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan
4. perasaan bersalah (quilty) akibat tidak melaksanakan tindakan operasi yang memungkinkan timbulnya kematian.
3. Tindakan Alternatif Terhadap Tindakan Yang Diusulkan
a. mengusulkan dalam tim yang terlibat dalam masalah klien untuk dilakukannya operasi, konsekuensi :
1. usul diterima atau ditolak aleh tim dan pihak yang terlibat dalam penanganan klien
2. mungkin klien secara psikologis akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan akan kehidupan ini
3. resiko pengeluaran biaya yang tak terduga/ tidak dapat diprediksi
b. mengangkat dilema etik ini kepada komisi etik keperawatan yang lebih tinggi untuk mempertimbangkan apakah operasi ini dilakukan atau tidak konsekuensi :
1. mungkin memperoleh tanggapan yang memuaskan
2. mungkin memperoleh tanggapan yang kurang memuaskan
3. tidak tertutup kemungkinan untuk tidak di tanggapi sama sekali
c. meminta izin kepada pimpinan lembaga pelayanan kesehatan (klinik kesehatan) untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi klien yang sebenarnya. Konsekuensi :
1. koordinator lembaga pelayanan menyetujui atau menolak
2. klien meperoleh informasi dan dapat memahami kondisinya, serta dapat mengambil sikap untuk memutuskan tindakan yang terbaik untuk dirinya.
3. kondisi psikologis klien lebih baik atau bertambah buruk karena responnya terhadap informasi yang diperoleh
4. Menetapkan Siapa Pembuat Keputusan
  Pada kasus wanita tersebut merupakan masalah yang komplek dan rumit, membuat keputusan dilakukan operasi atau tidak dapat diputuskan oleh pihak tertentu saja tetapi harus diputuskan secara bersama-sama.
a. pengambilan keputusan harus melibatkan tim yang terkait dan klien
b. keputusan dibuat untuk :
1. pihak yang terkait dengan wanita tersebut untuk melakukan operasi atau tidak
2. klien, keputusan yang dibuat dapat memperoleh kepastian apakah dilakukan operasi atau tidak.
c. kriteria penetapan siapa pembuat keputusan
1. Tim
Kumpulan dari beberapa pihak yang berkepentingan dan yang paling memahami kondisi fisik dan psikologis klien. Masalah yang dihadapi Sangay komplek dan rumit yang tidak hanya memerlukan pertimbangan ilmiah, tetapi juga pertimbangan etik sehingga pembuat keputusan akan lebih bijaksana dilakukan oleh tim.
2. klien
klien ádalah orang yang paling berkepentingan dalam pengambilan keputusan yang dibuat oleh klien bisa berubah secara tiba-tiba yang akan mempengaruhi keputusan tim
3. keluarga
keterlibatan keluarga dalam upaya penyelesaian masalah cukup menentukan mengingat secara ekonomis klien masih Belem mendapatkan biaya diperoleh darimana sehingga keluarga mempunyai peranan yang cukup menemtukan masalah
d. prinsip moral yang ditekankan berdasarkan prioritas dalam kasus ini :
1. otonomi
2. benefesiensi
3. justice
4. avoiding killing
5. Mengidentifikasi Kewajiban Perawat
a. menghindari klien dari ancaman kematian
b. menghargai otonomi klien dan berusaha menyeimbangkan dengan tanggung jawab pemberi pelayanan kesehatan
c. menghindarkan klien dari tindakan yang tidak menguntungkan bagi dirinya
d. melaksanakan prinsip-prinsip kode etik keperawatan
e. membantu sistem pendukung yang terlibat
6. Membuat keputusan
Keputusan yang dapat diambil sesuai dengan hak otonomi klien dan dari pertimbangan tim kesehatan, sebagai seorang perawat, keputusan yang terbaik adalah dilakukan operasi berhasil atau tidak itu adalah kehendak yang maha kuasa sebagai manusia setidaknya kita telah berusaha.

kohistik care dan etika dan moral serta masalah dalam keperawatan

Etika Keperawatan

Definisi

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain.

Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.

Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.

Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.

TIPE-TIPE ETIK

a. Bioetik

Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan theology.

Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain : peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan

Dapat disimpulkan bahwa bioetik lebih berfokus pada dilema yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi teori etik dan prinsip etik terhadap masalah-masalah pelayanan kesehatan

b. Clinical ethics/Etik klinik

Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada klien.

Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).

c. Nursing ethics/Etik Perawatan

Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik.

TEORI ETIK

a. Utilitarian

Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi atau akibat tindakan Contoh : Mempertahankan kehamilan yang beresiko tinggi dapat menyebabkan hal yang tidak menyenangkan, nyeri atau penderitaan pada semua hal yang terlibat, tetapi pada dasarnya hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya.

b. Deontologi

Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumber-sumber, dan euthanasia.

PRINSIP-PRINSIP ETIK

a. Otonomi (Autonomy)

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

b. Berbuat baik (Beneficience)

Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.

c. Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.

d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.

e. Kejujuran (Veracity)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.

f. Menepati janji (Fidelity)

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

g. Karahasiaan (Confidentiality)

Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.

h. Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA

Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan.

Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Kode etik keperawtan Indonesia :

a. Perawat dan Klien

1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.

2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.

3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.

4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.



b. Perawat dan praktek

1) Perawat memlihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan melalui belajar terus-menerus

2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.

3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain

4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional.

c. Perawat dan masyarakat

Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.

d. Perawat dan teman sejawat

1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan ilegal.

e. Perawat dan Profesi

1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan

2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
3)Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
Keperawatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Tenaga keperawatan secara keseluruhan jumlahnya mendominasi tenaga kesehatan yang ada, dimana keperawatan memberikan konstribusi yang unik terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif. Keperawatan sebagai suatu profesi menekankan kepada bentuk pelayanan professional yang sesuai dengan standart dengan memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.
lanjut
A. Sejarah Keperawatan
Keperawatan sebagai suatu pekerjaan sudah ada sejak manusia ada di bumi ini, keperawatan terus berkembang sesuai dengan kemajuan peradaban teknologi dan kebudayaan. Konsep keperawatan dari abad ke abad terus berkembang, berikut adalah perkembangan keperawatan di dunia :
1. Mother Instink
Pekerjaan keperawatan sudah ada sejak manusia diciptakan, keperawatan ada sebagai suatu naluri (instink). Setiap manusia pada tahap ini menggunakan akal pikirannya untuk menjaga kesehatan, menggurangi stimulus kurang menyengkan, merawat anak, menyusui anak dan perilaku masih banyak perilaku lainnya.
2. Animisme
Manusia pada tahap ini memiliki keyakinan bahwa keadaan sakit adalah disebabkan oleh arwah/roh halus yang ada pada manusia yang telah meninggal atau pada manusia yang hidup atau pada alam ( batu besar, pohon, gunung, sungai, api, dll). Untuk mengupayakan penyembuhan atau perawatan bagi manusia yang sakit maka roh jahat harus di usir, para dukun mengupayakan proses penyembuhan dengan berusaha mencari pengetahuan tentang roh dari sesuatu yang mempengaruhi kesehatan orang yang sakit. Setelah dirasa mendapatkan kemampuan, para dukun berupaya mengusir roh dengan menggunakan mantra-mantra atau obat-obatan yang berasal dari alam.
3. Keperawatan penyakit akibat kemarahan para dewa
Pada tahap ini manusia sudah memiliki kepercayaan tentang adanya dewa-dewa, manusia yang sakit disebabkan oleh kemarahan dewa. Untuk membantu penyembuhan orang yang sakit dilakukan pemujaan kepada para dewa di tempat pemujaan (kuil), dengan demikian dapat dikatakan bahwa kuil adalah tempat pelayanan kesehatan.
4. Ketabiban
Mulai berkembang kemungkinan sejak ± 14 abad SM, pada masa ini telah dikenal teknik pembidaian, hygiene umum, anatomi manusia.
5. Diakones dan Philantrop
Berkembang sejak ± 400 SM, para diakones memberikan pelayanan perawatan yang diberikan dari rumah ke rumah, tugas mereka adalah membantu pendeta memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pada masa ini merupakan cikal bakal berkembangnya ilmu keperawatan kesehatan masyarakat. Philantop adalah kelompok yang mengasingkan diri dari keramaian dunia, dimana mereka merupakan tenaga inti yang memberikan pelayanan di pusat pelayanan kesehatan (RS) pada masa itu.
6. Perkembangan ilmu kedokteran Islam
Pada tahun 632 Masehi, Agama Islam melalui Nabi Muhamad SAW dan para pengikutnya menyebarkan agama Islam keseluruh pelosok dunia. Selain menyebarkan ajaran agama beliau juga menyebarkan ilmu pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan pengobatan terhadap penyakit (kedokteran).
7. Perawat terdidik ( 600 – 1583 )
Pada masa ini pendidikan keperawatan mulai muncul, dimana program itu menghasilkan perawat-perawat terdidik. Pendidikan keperawatan diawali di Hotel Dien dan Lion Prancis yang kemudian berkembang menjadi rumah sakit terbesar disana. Pada awalnya perawat terdidik diseleksi dari para pengikut agama dimana tenaga mereka diperbantukan dalam kegiatan perawatan paska terjadinya perang salib. Tokoh perawat yang terkenal pada saat (1182 – 1226) itu adalah St Fransiscas dari Asisi Italia.
8. Perawat Profesional (abad 18 – 19)
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat sejak abad ini termasuk ilmu kedokteran dan keperawatan. Florence Nightingale (1820-1910) adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan ilmu keperawatan, beliau mendirikan sekolah keperawatan moderen pada tahun 1960 di RS St. Thomas di London.
Melihat perkembangan keperawatan di dunia dengan kemajuannya dari tahap yang paling klasik sampai dengan terciptanya tenaga keperawatan yang professional dan diakui oleh dunia internasional tentu dapat dijadikan cerminan bagi perkembangan keperawatan di Indonesia. Mengikuti perkembangan keperawatan di dunia, keperawatan di Indonesia juga terus berkembang, adapun perkembangannya adalah sebagai berikut :
1. Seperti halnya perkembangan keperawatan di dunia, di Indonesia pada awalnya pelayanan perawatan masih didasarkan pada naluri, kemudian berkembang menjadi aliran animisme, dan orang bijak beragama.
2. Penjaga orang sakit (POS/zieken oppasser)
Sejak masuknya Vereenigge oost Indische Compagine di Indonesia mulai didirikan rumah sakit, Binnen Hospital adalah RS pertama yang didirikan tahun 1799, tenaga kesehatan yang melayani adalah para dokter bedah, tenaga perawat diambil dari putra pertiwi. Pekerjaan perawat pada saat itu bukan pekerjaan dermawan atau intelektual, melainkan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh prajurit yang bertugas pada kompeni. Tugas perawat pada saat itu adalah memasak dan membersihkan bagsal (domestik work), mengontol pasien, menjaga pasien agar tidak lari/pasien gangguan kejiwaan.
3. Model keperawatan Vokasional (abad 19)
Berkembangnya pendidikan keperawatan non formal, pendidikan diberikan melalui pelatihan-pelatihan model vokasional dan dipadukan dengan latihan kerja.
4. Model keperawatan kuratif (1920)
Pelayanan pengobatan menyeluruh bagi masyarakat dilakukan oleh perawat seperti imunisasi/vaksinasi, dan pengobatan penyakit seksual.
5. Keperawatan semi profesional
Tuntutan kebutuhan akan pelayanan kesehatan (keperawatan) yang bermutu oleh masyarakat, menjadikan tenaga keperawatan dipacu untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dibidang keperawatan. Pendidikan-pendidikan dasar keperawatan dengan sistem magang selama 4 tahun bagi lulusan sekolah dasar mulai bermunculan.
6. Keperawatan preventif
Pemerintahan belana menganggap perlunya hygiene dan sanitasi serta penyuluhan dalam upaya pencegahan dan pengendalian wabah, pemerintah juga menyadari bahwa tindakan kuratif hanya berdampak minimal bagi masyarakat dan hanya ditujukan bagi mereka yang sakit. Pada tahun 1937 didirikan sekolah mantri higene di Purwokerto, pendidikan ini terfokus pada pelayanan kesehatan lingkungan dan bukan merupakan pengobatan.
7. Menuju keperawatan profesional
sejak Indonesia merdeka (1945) perkembangan keperawatan mulai nyata dengan berdirinya sekolah pengatur rawat (SPR) dan sekolah bidan di RS besar yang bertujuan untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pendidikan itu diberuntukan bagi mereka lulusan SLTP ditambah pendidikan selama 3 tahun, disamping itu juga didirikan sekolah bagi guru perawat dan bidan untuk menjadi guru di SPR. Perkembangan keperawatan semakin nyata dengan didirikannya organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia tahun 1974.
8. Keperawatan profesional
Melalui lokakarya nasional keprawatan dengan kerjasama antara Depdikbud RI, Depkes RI dan DPP PPNI, ditetapkan definisi, tugas, fungsi dan kompetensi tenaga perawat professional di Indonesia. Diilhami dari hasil lokakarya itu maka didirikanlah akademi keperawatan, kemudian disusul pendirian PSIK FK-UI (1985) dan kemudian didirikan pula program paska sarjana (1999).
B. Pengertian Keperawatan
Pada lokakarya nasional 1983 telah disepakati pengertian keperawatan sebagai berikut, keperawatan adalah pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual yang komprehensif yang ditujukan kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Florence Nightingale (1895) mendefinisikan keperawatan sebagai berikut, keperawatan adalah menempatkan pasien alam kondisi paling baik bagi alam dan isinya untuk bertindak.
Calilista Roy (1976) mendefinisikan keperawatan merupakan definisi ilmiah yang berorientasi kepada praktik keperawatan yang memiliki sekumpulan pengetahuan untuk memberikan pelayanan kepada klien.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keperawatan adalah upaya pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic dan professional, holistic berdasarkan ilmu dan kiat, standart pelayanan dengan berpegang teguh kepada kode etik yang melandasi perawat professional secara mandiri atau memalui upaya kolaborasi.
C. Definisi Perawat
Definisi perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
Tyalor C Lillis C Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.
Definisi perawat menurut ICN (international council of nursing) tahun 1965, perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit.
D. Tren Keperawatan
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi, pencemaran, kecelakaan, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif.
Pada masyarakat yang menuju ke arah moderen, terjadi peningkatan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan pendapatan dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menjadikan masyarakat lebih kritis. Kondisi itu berpengaruh kepada pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang kritis menghendaki pelayanan yang bermutu dan diberikan oleh tenaga yang profesional. Keadaan ini memberikan implikasi bahwa tenaga kesehatan khususnya keperawatan dapat memenuhi standart global internasional dalam memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan, memiliki kemampuan professional, kemampuan intelektual dan teknik serta peka terhadap aspek social budaya, memiliki wawasan yang luas dan menguasi perkembangan Iptek.
Namun demikian upaya untuk mewujudkan perawat yang professional di Indonesia masih belum menggembirakan, banyak factor yang dapat menyebabkan masih rendahnya peran perawat professional, diantaranya :
1. Keterlambatan pengakuan body of knowledge profesi keperawatan. Tahun 1985 pendidikan S1 keperawatan pertama kali dibuka di UI, sedangkan di negara barat pada tahun 1869.
2. Keterlambatan pengembangan pendidikan perawat professional.
3. Keterlambatan system pelayanan keperawatan., ( standart, bentuk praktik keperawatan, lisensi )
Menyadari peran profesi keperawatan yang masih rendah dalam dunia kesehatan akan berdampak negatif terhadap mutu pelayanan kesehatan bagi tercapainya tujuan kesehatan “ sehat untuk semua pada tahun 2010 “, maka solusi yang harus ditempuh adalah :
1. Pengembangan pendidikan keperawatan.
Sistem pendidikan tinggi keperawatan sangat penting dalam pengembangan perawatan professional, pengembangan teknologi keperawatan, pembinaan profesi dan pendidikan keperawatan berkelanjutan. Akademi Keperawatan merupakan pendidikan keperawatan yang menghasilkan tenaga perawatan professional dibidang keperawatan. Sampai saat ini jenjang ini masih terus ditata dalam hal SDM pengajar, lahan praktik dan sarana serta prasarana penunjang pendidikan.
2. Memantapkan system pelayanan perawatan professional
Depertemen Kesehatan RI sampai saat ini sedang menyusun registrasi, lisensi dan sertifikasi praktik keperawatan. Selain itu semua penerapan model praktik keperawatan professional dalam memberikan asuhan keperawatan harus segera di lakukan untuk menjamin kepuasan konsumen/klien.
3. Penyempurnaan organisasi keperawatan
Organisasi profesi keperawatan memerlukan suatu perubahan cepat dan dinamis serta kemampuan mengakomodasi setiap kepentingan individu menjadi kepentingan organisasi dan mengintegrasikannya menjadi serangkaian kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya. Restrukturisasi organisasi keperawatan merupakan pilihan tepat guna menciptakan suatu organisasi profesi yang mandiri dan mampu menghidupi anggotanya melalui upaya jaminan kualitas kinerja dan harapan akan masa depan yang lebih baik serta meningkat.
Komitmen perawat guna memberikan pelayanan keperawatan yang bermutu baik secara mandiri ataupun melalui jalan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sangat penting dalam terwujudnya pelayanan keperawatan professional. Nilai professional yang melandasi praktik keperawatan dapat di kelompokkan dalam :
1. Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam prtaktik keperawatan terdiri dari
a. Body of Knowledge
b. Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c. Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan kreatif.
2. Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic, dan memperhatikan kode etik keperawatan. Menurut Beauchamp & Walters (1989) pelayanan professional terhadap masyarakat memerlukan integritas, komitmen moral dan tanggung jawab etik.
Aspek moral yang harus menjadi landasan perilaku perawat adalah :
a. Beneficience
selalu mengupayakan keputusan dibuat berdasarkan keinginan melakukan yang terbaik dan tidak merugikan klien. (Johnstone, 1994)
b. Fair
Tidak mendeskriminasikan klien berdasarkan agama, ras, social budaya, keadaan ekonomi dan sebagainya, tetapi memprlakukan klien sebagai individu yang memerlukan bantuan dengan keunikan yang dimiliki.
c. Fidelity
Berperilaku caring (peduli, kasih sayang, perasaan ingin membantu), selalu berusaha menepati janji, memberikan harapan yang memadahi, komitmen moral serta memperhatikan kebutuhan spiritual klien.
3. Otonomi, kendali dan tanggung gugat
Otonomi merupakan kebebasan dan kewenangan untuk melakukan tindakan secara mandiri. Hak otonomi merujuk kepada pengendalian kehidupan diri sendiri yang berarti bahwa perawat memiliki kendali terhadap fungsi mereka. Otonomi melibatkan kemandirian, kesedian mengambil resiko dan tanggung jawab serta tanggung gugat terhadap tindakannya sendiribegitupula sebagai pengatur dan penentu diri sendiri.
Kendali mempunyai implikasi pengaturan atau pengarahan terhadap sesuatu atau seseorang. Bagi profesi keperawatan, harus ada kewenangan untuk mengendalikan praktik, menetapkan peran, fungsi dan tanggung jawab anggota profesi.
Tanggung gugat berarti perawat bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukannya terhadap klien.
TANGGUNG JAWAB (RESPONSIBILITY)
DAN TANGGUNG GUGAT (ACCOUNTABILITY) PERAWAT
DALAM SUDUT PANDANG ETIK
By. Iyus Yosep, SKp., MSi
TANGGUNG JAWAB (RESPONSIBILITY)
A. Pengertian Responsibility (Barbara kozier dalam Fundamental of nursing 1983:25)
Responsibility means : Reliability and thrustworthiness. This attribute indicates that the
professional nurse carries out required nursing activities conscientiously and that nurse’s
actions are honestly reported (Koziers, 1983:25)
Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang dapat dipercaya dan terpercaya. Sebutan ini
menunjukan bahwa perawat professional menampilkan kinerja secara hati-hati, teliti dan kegiatan
perawat dilaporkan secara jujur. Klien merasa yakin bahwa perawat bertanggung jawab dan
memiliki kemampuan, pengetahuan dan keahlian yang relevan dengan disiplin ilmunya.
Kepercayaan tumbuh dalam diri klien, karena kecemasan akan muncul bila klien merasa tidak
yakin bahwa perawat yang merawatnya kurang terampil, pendidikannya tidak memadai dan
kurang berpengalaman. Klien tidak yakin bahwa perawat memiliki integritas dalam sikap,
keterampilan, pengetahuan (integrity) dan kompetensi.
Beberapa cara dimana perawat dapat mengkomunikasikan tanggung jawabnya :
1. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien (sincere intereset)
Contoh : “Mohon maaf bu demi kenyamanan ibu dan kesehatan ibu saya akan mengganti
balutan atau mengganti spreinya”.
2. Bila perawat terpaksa menunda pelayanan, maka perawat bersedia memberikan
penjelasan dengan ramah kepada kliennya (explanantion about the delay). Misalnya ;
“Mohon maaf pak saya memprioritaskan dulu klien yang gawat dan darurat sehingga
harus meninggalkan bapak sejenak”.
3. Menunjukan kepada klien sikap menghargai (respect) yang ditunjukkan dengan perilaku
perawat. misalnya mengucapkan salam, tersenyum, membungkuk, bersalaman dsb.
4. Berbicara dengan klien yang berorientasi pada perasaan klien (subjects the patiens
desires) bukan pada kepentingan atau keinginan perawat misalnya “Coba ibu jelaskan
bagaimana perasaan ibu saat ini”. Sedangkan apabila perawat berorientasi pada
kepentingan perawat ; “ Apakah bapak tidak paham bahwa pekerjaan saya itu banyak,
dari pagi sampai siang, mohon pengertiannya pak, jangan mau dilayani terus”
5. Tidak mendiskusikan klien lain di depan pasien dengan maksud menghina (derogatory)
misalnya “ pasien yang ini mungkin harapan sembuhnya lebih kecil dibanding pasien
yang tadi”
6. Menerima sikap kritis klien dan mencoba memahami klien dalam sudut pandang klien
(see the patient point of view). Misalnya perawat tetap bersikap bijaksana saat klien
menyatakan bahwa obatnya tidak cocok atau diagnosanya mungkin salah.
B. Pengertian Tanggung jawab perawat menurut ANA
Responsibility adalah : Penerapan ketentuan hukum (eksekusi) terhadap tugas-tugas yang
berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam Pengetahuan, Sikap
dan bekerja sesuai kode etik (ANA, 1985).
Menurut pengertian tersebut, agar memiliki tanggung jawab maka perawat diberikan
ketentuan hukum dengan maksud agar pelayanan perawatannya tetap sesuai standar. Misalnya
hukum mengatur apabila perawat melakukan kegiatan kriminalitas, memalsukan ijazah,
melakukan pungutan liar dsb. Tanggung jawab perawat ditunjukan dengan cara siap menerima
hukuman (punishment) secara hukum kalau perawat terbukti bersalah atau melanggar hukum.
C. Pengertian Responsibility menurut Berten , (1993:133)
Responsibility : Keharusan seseorang sebagai mahluk rasional dan bebas untuk tidak. mengelak
serta memberikan penjelasan mengenai perbuatannya, secara retrosfektif atau prosfektif (Bertens,
1993:133).
Berdasarkan pengertain di atas tanggung jawab diartikan sebagai kesiapan memberikan
jawaban atas tindakan-tindakan yang sudah dilakukan perawat pada masa lalu atau tindakan yang
akan berakibat di masa yang akan datang. Misalnya bila perawat dengan sengaja memasang alat
kontrasepsi tanpa persetujuan klien maka akan berdampak pada masa depan klien. Klien tidak
akan punya keturunan padahal memiliki keturunan adalah hak semua manusia. Perawat secara
retrospektif harus bisa mempertanggung-jawabkan meskipun tindakan perawat tersebut diangap
benar menurut pertimbangan medis.
D. Jenis tanggung jawab perawat
Tanggung jawab (Responsibility) perawat dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Responsibility to God (tanggung jawab utama terhadap Tuhannya)
2. Responsibility to Client and Society (tanggung jawab terhadap klien dan masyarakat)
3. Responsibility to Colleague and Supervisor (tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan
atasan)
E. Tanggung jawab perawat terhadap Tuhannya saat merawat klien
Dalam sudut pandang etika Normatif, tanggung jawab perawat yang paling utama adalah
tanggung jawab di hadapan Tuhannya. Sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati akan
dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan. Dalam sudut pandang Etik pertanggung
jawaban perawat terhadap Tuhannya terutama yang menyangkut hal-hal berikut ini ;
1. Apakah perawat berangkat menuju tugasnya dengan niat ikhlas karena Allah ?
2. Apakah perawat mendo’akan klien selama dirawat dan memohon kepada Allah untuk
kesembuhannya ?
3. Apakah perawat mengajarkan kepada klien hikmah dari sakit ?
4. Apakah perawat menjelaskan mafaat do’a untuk kesembuhannya ?
5. Apakah perawat memfasilitasi klien untuk beribadah selama di RS?
6. Apakah perawat melakukan kolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan spiritual klien?
7. Apakah perawat mengantarkan klien dalam sakaratul maut menuju Khusnul khotimah?
F. Tanggung Jawab (Responsibility)perawat terhadap klien.
Tanggung jawab merupakan aspek penting dalam etika perawat. Tanggung jawab adalah
kesediaan seseorang untuk menyiapkan diri dalam menghadapi resiko terburuk sekalipun,
memberikan kompensasi atau informasi terhadap apa-apa yang sudah dilakukannya dalam
melaksanakan tugas.
Tanggung jawab seringkali bersipat retrospektif, artinya selalu berorientasi pada perilaku
perawat di masa lalu atau sesuatu yang sudah dilakukan. Tanggung jawab perawat terhadap klien
berfokus pada apa-apa yang sudah dilakukan perawat terhadap kliennya.
Perawat dituntut untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakannya khususnya selama
melaksanakan tugas di rumah sakit, puskesmas, panti, klinik atau masyarakat. Meskipun tidak
dalam rangka tugas atau tidak sedang meklaksanakan dinas, perawat dituntut untuk bertangung
jawab dalam tugas-tugas yang melekat dalam diri perawat. Perawat memiliki peran dan fungsi
yang sudah disepakati. Perawat sudah berjanji dengan sumpah perawat bahwa ia akan senantiasa
melaksanakan tugas-tugasnya.
Contoh bentuk tanggung jawab perawat selama dinas; mengenal kondisi kliennya,
melakukan operan, memberikan perawatan selama jam dinas, tanggung jawab dalam
mendokumentasikan, bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan klien, jumlah klien yang
sesuai dengan catatan dan pengawasannya, kadang-kadang ada klien pulang paksa atau pulang
tanpa pemberitahuan, bertanggung jawab bila ada klien tiba-tiba tensinya drop tanpa
sepengetahuan perawat. dsb.
Tanggung jawab perawat erat kaitanya dengan tugas-tugas perawat. Tugas perawat secara
umum adalah memenuhi kebutuhan dasar. Peran penting perawat adalah memberikan pelayanan
perawatan (care) atau memberikan perawatan (caring). Tugas perawat bukan untuk mengobati
(cure). Dalam pelaksanaan tugas di lapangan adakalanya perawat melakukan tugas dari profesi
lain seperti dokter, farmasi, ahli gizi, atau fisioterapi. Untuk tugas-tugas yang bukan tugas perwat
seperti pemberian obat maka tanggung jawab tersebut seringkali dikaitkan dengan siapa yang
memberikan tugas tersebut atau dengan siapa ia berkolaborasi. Dalam kasus kesalahan pemberian
obat maka perawat harus turut bertanggung-jawab, meskipun tanggung jawab utama ada pada
pemberi tugas atau atasan perawat, dalam istilah etika dikenal dengan Respondeath Superior.
Istilah tersebut merujuk pada tanggung jawab atasan terhadap perilaku salah yang dibuat
bawahannya sebagai akibat dari kesalahan dalam pendelegasian. Sebelum melakukan
pendelegasian seorang pimpinan atau ketua tim yang ditunjuk misalnya dokter harus melihat
pendidikan, skill, loyalitas, pengalaman dan kompetensi perawat agar tidak melakukan kesalahan
dan bisa bertanggung jawab bila salah melaksanakan pendelegasian.
Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar mampu memahami
tanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep kebutuhan dasar manusia. Konsep
Kebutuhan dasar yang paling terkenal salah satunya menurut Maslow sebagai berikut :
Gambar 1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Abraham Maslow.
Berdasarkan konsep kebutuhan dasar tersebut, perawat memegang tanggung jawab dalam
memenuhi kebutuhan dasar klien. Perawat diharapkan memandang klien sebagai mahluk unik
yang komprehensif dalam memberikan perawatan. Komprehensif artinya dalam memenuhi
kebutuhan dasar klien, tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisiknya atau
Belonging/loving Need
Self
Actualization
Self Esteem
Safety/ Security Need
Physiologies Need
psikologisnya saja, tetapi semua aspek menjadi tanggung jawab perawat. sebagai contoh ketika
merawat klien fraktur perawat tidak hanya memenuhi kebutuhan istirahat, rasa nyaman dan
terhindar dari nyeri (sleep and comport need), tetapi memandang klien sebagai mahluk utuh yang
berdampak pada gangguan psikologisnya seperti cemas, takut, sedih, terasing sebagai dampak
dari fraktur, atau masalah-masalah sosial seperti (tidak bisa bekerja, rindu pada keluarga, terpisah
dari teman, sampai masalah spiritual seperti berburuk sangka pada Allah, tidak mau berdo’a dan
perasaan berdosa.
Etika perawat melandasi perawat dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Dalam
pandangan etika keperawatan perawat memilki tanggung jawab (responsibility) terhadap-tugastugasnya
terutama keharusan memandang manusia sebagai mahluk yang utuh dan unik. Utuh
artinya memiliki kebutuhan dasar yang kompleks dan saling berkaitan antara kebutuhan satu
dengan lainnya, unik artinya setiap individu bersipat khas dan tidak bisa disamakan dengan
individu lainnya sehingga memerlukan pendekatan khusus kasus per kasus, karena klien memiliki
riwayat kelahiran, riwayat masa anak, pendidikan, hobby, pola asuh, lingkungan, pengalaman
traumatik, dan cita-cita yang berbeda. Kemampuan perawat memahami riwayat hidup klien yang
berbeda-beda dikenal dengan Ability to know Life span History dan kemampuan perawat dalam
memandang individu dalam rentang yang panjang dan berlainan dikenal dengan Holistic.
G. Tanggung jawab perawat terhadap rekan sejawat dan atasan
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawab perawat terhadap rekan sejawat atau
atasan. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Membuat pencatatan yang lengkap (pendokumentasian) tentang kapan melakukan tindakan
keperawatan, berapa kali, dimana dengan cara apa dan siapa yang melakukan. Misalnya
perawat A melakuan pemasangan infus pada lengan kanan vena brchialis, dan pemberian
cairan RL sebanyak 5 labu, infus dicabut malam senin tanggal 30 juni 2007 jam 21.00.
keadaan umum klien Compos Mentis, T=120/80 mmHg, N=80x/m, R=28x/m
S=37C.kemudian dibubuhi tanda tangan dan nama jelas perawat.
2. Mengajarkan pengetahuan perawat terhadap perawat lain yang belum mampu atau belum
mahir melakukannya. Misalnya perawat belum mahir memasang EKG diajar oleh perawat
yang sudah mahir. Untuk melindungi masyarakat dari kesalahan, perawat baru dilatih oleh
perawat senior yang sudah mahir, meskipun secara akademik sudah dinyatakan kompeten
tetapi kondisi lingkungan dan lapangan seringkali menuntut adaptasi khusus.
3. Memberikan teguran bila rekan sejawat melakukan kesalahan atau menyalahi standar.
Perawat bertanggung jawab bila perawat lain merokok di ruangan, memalsukan obat,
mengambil barang klien yang bukan haknya, memalsukan tanda tangan, memungut uang di
luar prosedur resmi, melakukan tindakan keperawatan di luar standar, misalnya memasang
NGT tanpa menjaga sterilitas.
4. Memberikan kesaksian di pengadilan tentang suatu kasus yang dialami klien. Bila terjadi
gugatan akibat kasus-kasus malpraktek seperti aborsi, infeski nosokomial, kesalahan
diagnostik, kesalahan pemberian obat, klien terjatuh, overhidrasi, keracunan obat, over dosis
dsb. Perawat berkewajiban untuk menjadi saksi dengan menyertakan bukti-bukti yang
memadai.
TANGGUNG GUGAT (ACCOUNTABILITY)
Acountability : The Nurse participates in making decisions and learns to live with these decisions
(Barbara Kozier, Fundamental of Nursing 1983:7, 25, ). Means being answerable Nurses have to
be answerable for all their professional activities. They must be able to explain their professional
action and accept responsibility for them. Three question naturally arise
1. To whom the nurse accountable?
2. For what the nurse accountable?
3. By what criteria is accountable measured ?
Akontabiliti dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan
dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki
tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani
menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus
mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya. Hal ini bisa dijelaskan
dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut :
1. Kepada siap tanggung gugat itu ditujukan
2. Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat?
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya?
1. Kepada siapa tanggung gugat itu ditujukan
Sebagai tenaga perawat kesehatan prawat memiliki tanggung gugat terhadap klien, sedangkan
sebagai pekerja atau karyawan perawat memilki tanggung jawab terhadap direktur, sebagai
profesional perawat memilki tanggung gugat terhadap ikatan profesi dan sebagai anggota
team kesehatan perawat memiliki tanggung gugat terhadap ketua tim biasanya dokter sebagai
contoh perawat memberikan injeksi terhadap klien. Injeksi ditentukan berdasarkan advis dan
kolaborasi dengan dokter, perawat membuat daftar biaya dari tindakan dan pengobatan yang
diberikan yang harus dibayarkan ke pihak rumah sakit. Dalam contoh tersebut perawat
memiliki tanggung gugat terhadap klien, dokter, RS dan profesinya.
2. Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat?
Perawat memilki tanggung gugat dari seluruh kegitan professional yang dilakukannya mulai
dari mengganti laken, pemberian obat sampai persiapan pulang. Hal ini bisa diobservasi atau
diukur kinerjanya.
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya?
Ikatan perawat, PPNI atau Asosiasi perawat atau Asosiasi Rumah sakit telah menyusun
standar yang memiliki krirteria-kriteria tertentu dengan cara membandingkan apa-apa yang
dikerjakan perawat dengan standar yang tercantum.baik itu dalam input, proses atau
outputnya. Misalnya apakah perawat mencuci tangan sesuai standar melalui 5 tahap yaitu.
Mencuci kuku, telapak tangan, punggung tangan, pakai sabun di air mengalir selama 3 kali
dsb.
MASALAH ETIK DAN MORAL DALAM KEPERAWATAN
Menurut Rosdahal, 1999: 45-46, masalah isu etik dan moral yang sering terjadi dalam praktek
keperawatan professional meliputi :
Organ transplantation (transplantasi organ).
Banyak sekali kasus dimana tim kesehatan berhasil mencangkokan organ terhadap klien yang
membutuhkan. Dalam kasus tumor ginjal, truma ginjal atau gagal ginjal CRF (chronic Renal
Failure), ginjal dari donor ditransplantasikan kepada ginjal penerima (recipient). Masalah etik
yang muncul adalah apakah organ donor bisa diperjual-belikan?, bagaimana dengan hak donor
untuk hidup sehat dan sempurna, apakah kita tidak berkewajiban untuk menolong orang yang
membutuhkan padahal kita bisa bertahan dengan satu ginjal. Apakah si penerima berhak untuk
mendapatkan organ orang lain, bagaiman dengan tim operasi yang melakukanya apakah sesuai
dengan kode etik profesi?, bagaimana dengan organ orang yang sudah meninggal, apakah
diperbolehkan orang mati diambil organnya?. Semua penelaahan donor organ harus diteliti
dengan kajian majelis etik yang terdiri dari para ahli di bidangnya. Majelis etik bisa terdiri atas
pakar terdiri dari dokter, pakar keperawatan, pakar agama, pakar hukum atau pakar ilmu sosial.
Secara medis ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan donor organ tersebut.
Diantaranya adalah memiliki DNA, golongan darah, jenis antigen yang cocok anatara Donor dan
resipien, tidak terjadi reaksi penolakan secara antigen dan antibodi oleh resipien, harus dipastikan
apakah sirkulasi, perfusi dan metabolisme organ masih berjalan dengan baik dan belum
mengalami kematian (nekrosis). Hal ini akan berkaitan dengan isu mati klinis dan informed
consent. Perlu adanya saksi yang disahkan secara hukum bahwa organ seseorang atau
keluarganya didonorkan pada keluarga lain agar dikemudian hari tidak ada masalah hukum.
Biasanya ada sertifikat yang menyertai bahwa organ tersebut sah dan legal. Pada kenyataannya
perangkat hokum dan undang-undang mengenai donor organ di Indonesia belum selengkap di
luar negeri sehingga operasi donor organ untuk klien Indonesia lebih banyak dilakukan di
Singapur, China atau Hongkong.
Menurut Cholil Uman (1994), Pencangkokan adalah pemindhan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsidengan baik, yangapabila apabila diobati dengan prosedur medis biasa. Harapan klien
untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Ada 3 tipe donor organ tubuh ;
1. Donor dalam keadaan hidup sehat : tipe ini memrlukan seleksi yang cermat dan
pemeriksaan kesahatan yang lengkap, baik terhadap donor maupun resipien untuk
menghindari kegagalan karena penolakan trubuh oleh resipien dan untk mencegah resiko
bagi donor.
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga akan meninggal dengan sege: Untuk tipe ini
pengambilan organ donor memrlukan alat control kehidupan misalnya alat Bantu
pernafasan khusus . Alat Bantu akan dicabut setelah pengambilan organselesai. Penentuan
criteria mat secra yuridis dan medis harus jelas. Apakah criteria mati itu ditandai dengan
berhentinya denyut jantung dan pernafasan atau berhentinya fungsi otak?, masalah etik ini
gharus jelas menjadi pegangan dokter agar di kemudian hari dokter tidak digugat ssebagi
pembunuh berencana oleh keluarga bersangkitan sehubugan dengan praktek transplantasi
itu.
3. Donor dalam keadaan mati; Tipe ini merupakan tipe yang ideal , sebab secra medis
tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secra medis dan yuridis.
Dalam pandangan etik normatik (yang bersumber dari agam), transplantasi organ tubuh
termasuk masalah ijtihad, karena tidak terdapat hukumnya secra eksplisit dalam Al-Qur’an
dan Sunah. Masalah ini termasuk masalah kompleks yang harus ditanmgani oleh
multidisipliner (kedokteran, biologi, hokum, etika, agama). Pandangan keperawatan Islam
terhadap tipe 1 dimana donor dalam keadaan hidup sehat seperti mata, ginjal, jantung, korne
mata, sangat dilarang hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-baqarah ayat 195 “ dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. “ menghindari kerusakan
harus didahulukan daripada mengambil kemanfaatan”. Artinya menolong orang dengan cara
mengorbankan dirinya sendiri yabg berakibat fatal bagi dirinya tidak diperbolehkan.
Pandangan keperawatan islam terhadap donor tipe 2 ; apabila pencangkokan pada mata,
ginjal, jantung, dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal, hal ini juga dilarang
karena ia telah membuat mudarat kepada donor yang menyebebakan mempercepat
kematiannya. Hal ini sesuai dengan Hadit Riwayat malik : “Tidak boleh ,membuat mudarat
pada dirinya dan tidak boleh membikin mudarat pada orang lain”.
Apabila pencangkokan mata, ginjal atau jantung dari donor yang telah meninggal atau
tipe 3, secara yuridis dan klinis, maka Islam membolehkan dengan syarat :
1. Resipien (penerima organ) berada dalam keadaan darurat yang mengancam dirinya
setelah menmpuh berbagai upaya pengobatan yang lama
2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan akibat atau komplikasi yang lebih gawat
3. Telah disetujui oleh wali atau keluarga korban dengan niat untuk menolong bukan untuk
memperjual-belikan
Determination of clinical death (perkiraan kematian klinis)
Masalah etik yang sering terjadi adalah penentuan meninggalnya seseorang secara klinis. Banyak
kontroversi cirri-ciri dalam menentukan mati klinis. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan organorgan
klien yang dianggap sudah meninggal secra klinis. Menurut rosdahl (1999), criteria
kematian klinis (brain death) di beberapa Negara Amerika ditentukan sebagai berikut :
Penghentian nafas setlah berhentinya pernafasan artifisalselama 3 menit (inspirasi-ekspiorsai)
Berhentinya denyut jantung tanpa stikulus eksternal
Tidak ada respon verbal dan non verbal terhadap sti,ulus eksternal
Hilangnya refleks-refleks (cephalic reflexes)
Pupil dilatasi
Hilangnya fungsi seluruh otak yang bisa dibuktikan dengan EEG
Quality of Life (kualitas dalam kehidupan)
Masalah kulitas kehidupan sering kali menjadi masalah etik. Hal ini mendasari tim kesehtan
untuk mengambil keputusan etis. Apakah seorang klien harus mendapatkan intervensi atau tidak.
Sebagai contoh bagaiamana bila di suatu tempat tidak ada donor yang bersedia dan tidak ada
tenaga ahli yang dapat memberikan tindakan tertentu?. Siapa yang berhak memutuskan tindakan
keperawatan pada klien yang mengalami koma. Siapa boleh memutuskan untuk menghentikan
resusitasi?, Beberapa hal berikut dapat dijadikan pertimbngan misalnya apabila klien sudah
memapu untk bekerja, apabila klien sudah berfungsi secra fisik, berdasarkan usia, berdasarkan
mafaat terhadap masyarakat, berdasarkan kepuasaan atau kegembiraan klien, kemaampuan
untyuk menolong dirinya sendiri, pendapat keluarga klien terdekat atau penaggung jawab klien.
Contoh kasus apakah klien TBC tetap klita Bantu untuk minum obat padahal ia masih
mampu untuk bekerja?, kalau ada dua klien bersamaan yang membutuhkan satu alat siapa yang
didahulukan ?, Apabila banyak klien lain membutuhkan alat tetapi alat tersebut sedang digunakan
oleh klien orang kaya yang tidak ada harapan sembuh apa yang harus dilakukan perawat ?,
aapabila klien kanker merasa gembira untuk tidak meneruskan pengobatan bagaiaman sikap
perawat?, Bila klien harus segera amputasi tetapi klien tidak sadar siapakah yang harus
memutuskan?.
Ethical issues in treatment (isu masalah etik dalam tindakan keperawatan)
Apabila ada tindakan yang membutuhkan biaya besar apakah tindakan tersebut tetap dilakukan
meslipun klien tersebut tidak mampu dan tidak mau ?, apabila tim kesehatan yang memutuskan
maka hal ini dikenal dengan mencari keuntungan atau berbuat kerusakan (Beneficience), Apabila
klien yang memutuskan maka hal ini mungkin termasuk hak otonomi klien (autonomy),
dapatkah klien menolak sesuatu. Masalah-masalah etik yang sering muncul seperti :
- Klien menolak pengobatan atau tindakan yang direkomendasikan (refusal of
treatment) misalnya menolak fototerapi, menolak operasi, menolak NGT, menolak
dipasang kateter
- Klien menghentikan pengobatan yang sedang berlangsung (withdrawl of
treatment)misalnya DO berobat pada TBC, DO kemoterapi pada kanker
- Witholding treatment misalnya menunda pengobatan karena tidak akada donor
atau keluarga menolak misalnya transplantasi ginjal aatau cangkok jantung.
Euthanasia (masalah mengakhiri kehidupan dengan maksud menolong)
Euthanasia sering disebut dengan “Mercy Killing” yang diartikan sebagai sutu cara mengambil
kehidupan klien untuk menghentikan penderitaan yang dihadapi klien tersebut. Hal ini dapat pula
diartikan sebagai proses pengunduran diri atau menghentikan intervensi tertentu dalan keadan
kritis dengan maksud untuk mengurangi penderitaan klien. Terminology lain yang digunakan
adalah “assited suicide” dimana pandangan hokum di Negara barat terhadap kasus ini berbedabeda.
Di Indonesia euthanasia Killing mutlak tidak diperbolehkan dengan alas an apapun.
Sebenaranya dalam pandangan etika normatif, kelahiran, kematian, jodoh, rezeki adalah
ketetapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah (2) : 28
“Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya benda mati, lalu Allah
menghidupkanmu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, selanjutnya kepada-
Nya lah kamu dikembalikan”
As-Sajdah (32) : 9
“Lalu disempurnakan-Nya kejadiannya, ditiupkan-Nya ruh ciptaan-Nya kepada tubuh dan
dilengkapi-Nya kamu dengan pendengaran, penglihatan dan pemikiran. Namun sedikit sekali
kamu yang bersyukur”
Dalam pandangan etika normative, Masalah kematian dan hidup manusia telah diprogram oleh
Allah. Manusia asalnya segumpal darah kemudian berubah sebagai janin hidup dalam kandungan
ibu sampai mencapai waktu lahir (36/37 minggu). Kemudian Allah menetapkan kelahirannya.
Selanjutnya dipelihara dan dibesarkan (diberi rizki) oleh Allah, ditetapkan jodohnya menjadi
orang tua menuju kematian. Melakukan bunuh diri atau mengakhiri hidup di luar ketentuan Allah
adalah dosa besar yang bertentangan dengan etika formal dan etika normatif.

Masalah etik secara umum
Menurut Taylor (1997), masalah etik yang sering terjadi secara umum dapat dibagai menjadi tiga
kelompok
1. Masalah etik perawat-klien (nurses and clients)
Paternalism (masalah budaya paternal)
Masalah etik perawat klien sering terjadi karena faktor paternalism. Misalnya pada saat klien
harus diisolasi atau dilakukan restrain terjadi konflik karena klien lansia menolak untuk
didampingi perawat. padahal keluarnya klien dari kamar dianggap mengancam jiwa dan dan
keselamatan fisiknya. Tetapi dalam hal ini perawat menganggap penghormatan kepada klien
sebagai orang tua adalah lebih utama terutama dalam budaya paternalistik.
Deception (membohongi klien)
Misalnya pada saat klien post op bertanya kepada siwa tentang siapa yang akan memberikan
injeksi intramuscular penghilang sakit, maka siswa menjadi cemas karena hal ini pertama kali
ia lakukan. Tepai perawat mengatakan bahwa siswa tersebut sering melakukan injeksi pada
klien post op.
Confidentiality (masalah kepercayaan klien)
Klien menangis dan menyatakan bahwa ia sudah tidak punya uang untuk membayar
pengobatan karena ia masuk RS dibawa polisi, apabila perawat percaya dan menolong klien
untuk membebaskan dari biaya pengobatan apakah ini sesuai dengan kaidah etik?, kalau
perawat membiarkan tidak menolong apapakah sesuai dengan kaidah etik ?
Allocation of Scarce Nursing resources (masalah membagi perhatian perawat)
Saat dinas malam jam 13.00 perawat sedang sibuk memasang infus klien dehidrasi berat dan
memberikan injeksi Sulfas atropine tiap 15 menit kepada klien keracunan pestisida. Saat
bersamaan datang klien Ca mammae kesakitan dank lien serangan jantung kepada klien
manakah tenaga dan pikiran perawat di fokuskan?
informed consent (masalah pemberian informasi pada klien)
Seorang dokter res diden menganjurkan perawat untuk segera menyuntikan analgetik pada
pada spinal klien karena klien sangat kesakitan, sementara dokter tersebut sedang sibuk
melakukan punksi pada tulang belakang klien, apakah perawat akan melakukan ini tanpa
memberikan informed consent terlebih dahulu ?
Conflicts betweent the client’s and nurses’s interest (Masalah konflik klien dan tata nilai
perawat)
Saat perawat melakukan test HIV AIDs pada klien, perawat menolak karena ia sedang hamil
dan takut bayinya tertular HIV AIDs.
2. Masalah etik perawat-dokter (nurses and physicians)
Disagreement about proposed medical regiment (Tidak setuju dengan pengobatan yang
disanakan dokter)
Dalam pengalaman klien bahwa obat penicillin yang diresepkean dokter seringkali
menimbiulkan alergi pada sebagaian besar klien, saat dokter memebrikan terapi yang sama
maka perawat menolak memberikan karena biasanya klien akan komplain kepada perawat
(The nurse Role conflicts) Konflik masalah peran dan fungsi perawat
Dib alai pengobatan perawat biasa melakukan sirkumsisi, operasi kecil dan pemberian cairan
infuse, padahal menurut undang-undang kesehatan dokter memklaim bahwa tibdakan tersebut
hanya boleh dilakukan oleh dokter. Padahal dokter jarng ada di tempat saat terapi harus
diberikan
Physician incompetence (Dokter yang tidak kompeten)
Dalam suatu Rumah Sakit ditempatkan seprang dokter yang belum mahir mengambil darah
dan memasang infus, hal ini menyebabkab ketidaknyamanan pada klien. Dalam kasus lain
dokter bedah baru menyebabkan lambanya proses operasi sehingga klien mengajukan
komplain kepada perawat.
3. perawat dengan institusi dan kebijakan public (nurses and institusional, public policy)
short staffing (terbatasnya tenaga perawat)
Terbatasnya tenaga perawat di puskesmas pembantu atau di wilayah terpencil
menyebabkan perawat melakukan semua aktivitas sendirian, mulai dari anamnesa,
diagnosa, pengobatan, perawatan, rehabilitasi sampai penyuluhan.
healthcare rationing (rasio tenaga keshatan)
terbatasnya tenaga kesehatan menyebabkan ternbatasnya pelayanan perawat kepada
masyarakat daerha terpencil, terutama bila terjadi wabah atau bencana alam, di sisi lain
peran perawat untuk menjamin kesehatan masyarakat harus dilaksanakan secra optimal
4. Masalah etik perawat dengan komisi etik (nuses and Ethics Committees)
Fungsi komisi etik adalah untuk pendidikan, membuat keputusan, melakukan peninjauan
kasus, dan sebagai konsultasi atau rujukan akhir. Komisi ini sangat penrting sebab
beranggotakan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan ahli di bidangnya masingmasing.
mereka memilki kemampuan untuk berdiskusi dan melakukan sharing. Banyak
peran perawat sebagai client advocate bersuara secra unik dalam forum ini dengan
maksud untuk membela kepentingan klien.